AUGUSTE COMTE VERSUS PITIRIM SOROKIN SERTA MASALAH KEMAJUAN BUDAYA
1. Riwayat Hidup Comte
Isidore Marie Auguste François Xavier Comte lahir
pada tanggal 17 Januari 1798 di Montpellier, Prancis. Ia bersekolah di Ecole
Polytechnique. Keluarga comte beragama katolik dan berdarah bangsawan. Comte
sendiri merupakan sosok pribadi yang suka memberontak dan keras kepala, namun
ia juga merupakan seseorang yang metodis, disiplin dan refleksif.
Comte
mengawali karirnya sebagai guru les matematika. Ia pun menjadi sekertaris Saint
Simon, dan semenjak menjadi sekertaris Simon, minat Comte terhadap
masalah-masalah kemanusiaan mulai berkembang. Kedunya saling bekerja sama dalam
mengembangkan karya mereka. Karya Comte dibawah asuhan Simon terlihat sangat
meyakinkan, kecermelangan intelektual serta ketekunannya membuat dirinya
sebagai sosok terpandang di kalangan intelektual Prancis. Namun, setelah 7
tahun bekerja sama, hubungan Comte dan Simon retak karena perdebatan mengenai kepengarangan
karya bersama. Namun sebagian hal ini mungkin disebabkan karena sifat dari
kepribadian Comte, Comte mengalami paranoid yang berat, dan terkadang
kegilaannya itu ia arahkan kepada teman-temannya. Pada suatu waktu, Comte
mengalami gangguan mental yang serius, dan dipulangkan dari rumah sakit sebelum
sembuh, ia pun mencoba melakukan aksi bunuh diri namun gagal dengan cara
menceburkan diri ke dalam sungai Seine.
Ketika
Comte sedang mengembangkan filsafat positif yang komprehensif,ia menikah dengan
seorang mantan pelacur yang bernama Caroline Massin. Caroline merupakan sosok
istri yang sabar, ia mengurus dan memenuhi kebetuhan Comte ketika suaminya
tersebut keluar dari rumah sakit, meskipun ia menderita menanggung beban
emosional dan ekonomi dengan Comte. Dan terkadang Caroline menerima perlakuan
kasar comte. Sepanjang hidupnya, Comte memang terus menerus hidup pas-pasan.
Pekerjaannya sebagai guru les, menyajikan ide-ide teoritisnya dibayar oleh
peserta-pesertanya. Dia tidak pernah mampu menjamin posisi profesional yang
dibayar dengan semestinya dalam sistem pendidikan tinggi Prancis. Bahkan di
akhir hayatnya, Comte hidup dari pemberian orang-orang yang mengaguminya dan
pengikut agama humanitasnya. Setelah pisah untuk sesaat, Ia pun bercerai,
Caroline pergi dan membiarkan dia hidup sengsara dan gila.
Tahun
1844, setelah Comte menyelesaikan enam jilid karyanya yang berjudul Course of
positive Philosophy, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Clothilde de
Vaux. Comte mencintai Clothilde namun sayang cintanya bertepuk sebelah tangan.
Clothilde mengidap penyakit tbc dan meninggal setelah beberapa bulan bertemu
Comte. Kehidupan comte pun kembali terguncang setelah kematian Clothilde, dan
dia bersumpah untuk membaktikan hidupnya untuk mengenang bidadarinya tersebut.
Terlihat
pada karya kedua comte System of positive politics yang ia gunakan untuk
mengenang bidadarinya tersebut, buku ini seharusnya merupakan suatu pernyataan
menyeluruh mengenai strategi pelaksanaan praktis pemikirannya mengenai filsafat
postif yang sudah dikemukakan dalam bukunya course of positive philosophy,
justru menjadi suatu bentuk perayaan cinta. Seperti gagasan dalam buku politik
positif ini yang menyebutkan bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang
dalam kehidupannya adalah perasaan, bukan pertumbuhan inteligensi manusia yang
mantap. Comte pun mengusulkan suatu reorganisasi masyarakat yang bertujuan
untuk membentuk suatu agama baru yang bernama agama Humanitas, dan agama ini
harus sesuai dengan standar-standar intelektual serta persyaratan positivisme.
Konsep agama humanitas adalah wanita atau kewanitaan akan disembah sebagai
perwujudan kehidupan perasaan dan sebagai pernyataan yang paling lengkap dari
cinta dan altruisme. Comte pun menyatakan bahwa perasaan wanita dan altruisme
lebih tinggi daripada intelek dan egoisme pria menurut nilai sosialnya. Bahkan
dalam kehidupan Comte sendiri, sosok Clothilde de Vaux menggantikan sosok Bunda
Maria dan menjadi simbol perwujudan “wanita ideal”.
Perubahan
tekanan dalam tulisan Comte membingungkan para pengagumnya dari kalangan
cendekiawan Prancis, tetapi meskipun begitu ia tetap mengemukakan
gagasan-gagasannya. Bahkan Comte menjadi sedemikian otoriter dan menyatakan
dirinya sebagai “Pendiri Agama Universal, Imam Agung Humanitas”. Karena
berkurangnya dukungan intelektual, ia pun beralih ke masyarakat luas dan
pelbagai pimpinan politik. Ia menulis buku berjudul Positivist Catechism untuk
wanita dan pekerja dan buku berjudul Appeal to Conservatives untuk
pimpinan-pimpinan politik. Comte juga berharap ahli sosiologi lainnya akan
mengikuti bimbingannya serta meningkatkan rasa keterarahan dan penyatu-rasaan
dengan humanitas. Dan ini merupakan gagasannya misi Comte di tahun 1857, ketika
ia mendapat serangan kanker dan meninggal.
Untuk
mengetahui tempat Comte dalam sejarah pemikiran sosial dan berdirinya disiplin
sosiologi, perlu memahami suasana sosial dan politik di tahun-tahunsesudah
Revolusi Prancis. Banyak kaum intelektual yang mewarisi kepercayaan akan akal
budi serta kemajuan di masa pencerahan abad ke-18 yang optimis, khususnya di
masa awal revolusi itu. Kepercayaan ahli-ahli filsafat pencerahan ini pada
kemampuan akal budi manusia untuk mengubah masyarakat sesuai dengan
prinsip-prinsip ilmiah tidak terbatas. Optimisme ini terlihat dalam
tulisan-tulisan dari para pemikir Prancis seperti Condorcet dan Turgot serta
Saint Simon. Mereka meyakini bahwa akan ada masyarakat baru yang dibuka oleh
akal budi serta kemajuan ilmu, dan tradisi-tradisi kuno yang tidak dapat
bertahan lagi terhadap penalaran akan segera dicanmpakkan. Tetapi kekerasan
revolusi yang berkelanjutan serta mengalami pergolakan sosial dan kekacauan
moral membuat sebagian orang berpikir-pikir kembali. Dan juga munculnya reaksi
konservatif yang menghargai kembali ketahanan tradisi-tradisi kebudayaan. Meskipun
Comte sangat dipengaruhi oleh kepercayaan abad pencerahan, namun ia juga
dipengaruhi oleh rasa tidak percaya kelompok konservatif terhadap
individualisme dan tekanan kelompok konservatif.
Martindale
melihat sumbangan kreatif Comte yaitu Positivisme dan Organisme merupakan dua
perspektif yang saling bertentangan. Orang positivis percaya bahwa hukum-hukum
alam dan gejala sosial dapat dugunakan dasar pembaruan-pembaruan sosial dan
politik sehingga akan menghasilkan masyarakat dimana penalaran akal budi akan
menghasilkan kerja sama dan takhayul, ketakutan,kebodohan,paksaan akan
dilenyapkan. Sedangkan dalam perspektif organik, individu tenggelam dalam
kenyataan masyarakat yang meliputinya, serta tradisi-tradisinya. Masyarakat
memperlihatkan hukum-hukumnya sendiri, dan hukum-hukum ini tidak dapat
disempurnakan oleh pelbagai pembaruan-pembaruan buatan dan sepotong-sepotong
seperti dikemukakan oleh kelompok positivis. Kaum organis juga lebih suka
organisasi masyarakat hirarkis tradisional daripada tekanan postivis pada
kebebasan dan persamaan, karena keseluruhan masyarakat organik berlandas pada
saling-ketergantungan antara individu-individu yang tempatnya berbeda-beda
dalam kehidupan.
Comte
hidup dalam suasana politik dan sosial yang bergejolak (Revolusi Prancis, rezim
Napoleon,pergantian monarki, revolusi dan periode republik) dengan lingkungan
yang seperti itu tidak heran kalau Comte sangat menekankan pentingnya
keteraturan sosial. Menurut Comte masyarakat diancam oleh kekacauan intelektual
dan sosial politik, serta menegakkan kembali keteraturan atas dasar pengetahuan
hukum masyarakat postif yang logis sangat penting untuk menjamin kemajuan yang
berjalan terus.
II. Perspektif Positivis Comte tentang
Masyarakat
Comte
melihat bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa memperoleh
pengetahuan tentang masyarakat menuntut penggunaan metode-metode penelitian
empiris dari ilmu-ilmu lainnya, dan Andreski memandang pendirian Comte inilah
yang merupakan sumbangan tak terhingganya nilainya bagi perkembangan sosiologi.
Comte
melihat bahwa perkembangan ilmu tentang masyarakat merupakan puncak suatu
proses kemajuan intelektual. Mengatasi cara-cara berpikir mutlak seperti pada
saat pra positif, menerima kenisbian pengetahuan, dan terus menerus terbuka
terhadap kenyataan-kenyataan baru merupakan ciri khas pendekatan positif yang
digambarkan Comte.
Sesudah
menentukan sifat epistemologi umum (seperangkat gagasan) dari pendekatan
positif, Comte menunjukan metode-metode khusus penelitian empiris yang sama
untuk semua ilmu : pengamatan, eksperimen, dan perbandingan. Gagasan untuk
menggunakan metode-metode penelitian empiris yang sama seperti yang digunakan
dalam ilmu Fisika dan Biologi untuk menganalisa gejala sosial sejalan dengan
pandangan Comte mengenai kesatuan filosofis dari semua ilmu. Karena menurut
Comte semua ilmu memperlihatkan hukum perkembangan intelektual yang sama,
seperti nampak dalam perkembangan melalui tiga tahap pemikiran teologis,
metafisik, dan positif.
1. Hukum Tiga Tahap
Hukum
tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat
manusia dari masa primitif sampai ke peradaban Prancis abad ke 19 yang sangat
maju. Hukum ini menyatakan bahwa masyarakat berkembang melalui tiga tahap
utama, yaitu teologis, metafisik, dan positif.
Tahap
teologis atau fiktif memandang bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan
langsung dari hal-hal supernatural. Teologi merupakan periode yang paling lama
dalam sejarah manusia. Comte membagi teologis dalam tiga
periode,fetisisme,politeisme, dan monoteisme. fetisisme bentuk pikiran yang
dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda
memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politeisme periode dimana
kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda dari
benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Monoteisme tahap
dimana kepercayaan terhadap banyak dewa itu diganti menjadi kepercayaan akan
satu yang tertinggi.
Tahap
metafisik atau abstrak memandang akal budi mengandaikan bukan hal supernatural,
melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat
pada semua benda (abstraksi-abstraksi
yang dipersonafikasikan). Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan
hukum-hukum alam yang asasiyang dapatditemukan dengan akal budi. Protestantisme
dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut-turut dari semangat
teologis ke munculnya semangat metafisik yang mantap.
Positif
atau ilmiah ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai pengetahuan
terakhir. Semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus
terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan
diperluas.
Gagasan
tentang evolusi perkembangan melalui tiga tahap ini bukan hanya milik Comte
saja. Untuk menggambarkan perbedaan yang ditekankan Comte, bayangkanlah kita
menjelaskan suatu gejala angin taufan. Dalam tahap teologi, gejala angin taufan
itu akan digambarkan sebagai hasil tindakan langsung dari seorang dewa angin
atau tuhan, sedangkan dalam tahap metafisik angin taufan itu akan dijelaskan
sebagai manifestasi dari suatu hukum alam yang tidak dapat diubah, sedangkan
dalam tahap positif angin taufan itu dijelaskan sebagai hasil dari suatu
kombinasi tertentu dari tekanan-tekanan udara,kecepatan angin, kelembaban dan
suhu semua variabel yang dapat diukur, yang terus berubah, dan berinteraksi
sehingga menghasilkan angin taufan tersebut.
2. Hubungan
antara Tahap-Tahap Intelektual dan Organisasi Sosial
Dalam
melengkapi penulusuran akan perkembangan intelektual manusia, Comte mau
meperlihatkan sumbangan masing-masing tahap terhadap atau dalam hubungannya
dengan kehidupan sosial. Comte pun memiliki persamaan dengan kelompok progresif
yang nampaknya siap untuk menghapuskan sebagian besar sejarah pemikiran manusia
terhadap dongeng bohong dan takhayul demi takhayul yang dapat menghalangi
perkembangan manusia. Seperti pada masa fetisisme awal, usaha-usaha untuk
menjelaskan gejala dengan takhayul primitif membantu timbulnya pemikiran
spekulatif dan mendorong peralihan dari cara hidup nomaden menjadi pertanian
menetap. Dalam tahap politeistik munculnya kependetaan mendorong timbulnya
suatu kelas spekulatif yang dapat menyumbangkan tenaganya untuk menguraikan dan
meneruskan tradisi-tradisi.
Selain
sumbangan tahap-tahap sebelumnya terhdap evolusi sosial, masing-masing tahap
juga memiliki hubungan afinitas yang khas dengan jenis organisasi sosial dimana
cara berpikir itu dominan. Dengan kata lain, dalam setiap tahap itu, pola
organisasi sosial yang dominan mencerminkan pengaruh kepercayaan masing-masing
serta gaya intelektualnya. Khususnya Comte merasa bahwa tahap teologis
mendukung tipe organisasi sosial militer, sedangkan tahap positif terakhir
mendukung tipe keteraturan sosial yang bersifat industrial. Tahap metafisik
peralihan berhubungan dengan dominasi sosial dari “ahli hukum”, istilah Comte
untuk menunjukkan mereka yang berusaha menarik doktrin-doktrin sosial dan
politik dari pemahaman tentang hukum-hukum alam. Argumentasi-argumentasi Comte
untuk menjelaskan hubungan-hubungan secara terperinci menekankan bahwa dalam
tahap teologis, dukungan dari otoritas religius yang mengesahkan adalah perlu
untuk menanamkan disiplin sosialyang perlu untuk kegiatan militer.
Munculnya
suatu masyarakat industri dirangsang oleh pertumbuhan filsafat dan ilmu
pengetahuan positif, dan pada gilirannyamerangsang pertumbuhan ilmu
selanjutnya. Pengetahuan ilmiah merupakan dasar kemajuan teknologi yang
memungkinkan perkembangan industri. Selain itu, mentalitas positif dan mentalitas
industri bukan sesuatu yang bersifat dogmatis, melainkan suatu hal yang dapat
diuji dan terus menerus mengusahakan kemajuan manusia. Pergantian dari dominasi
militer ke dominasi industri yang memperlihatkan dimana manusia tidak lagi
mengeksploitasi sesama manusia namun beralih mengeksploitasi alam.
Cepatnya
perubahan dari satu tahap intelektual ke yang berikutnya, berlainan dalam
periode sejarah yang berbeda-beda. Beberapa periode ditandai dengan stabilitas
yang agak tinggi, apabila konsensus atas dasar kepercayaan dan
pandangan-pandangan adalah relatif tinggi, dan organisasi sosial, struktur
politik,cita-cita moral dan kondisi-kondisi materil memperlihatkan suatu
tingkat yang saling ketergantungan harmonis yang tinggi. Sebaliknya,
periode-periode dimana perubahan yang pesat dari satu tahap (tahap kecil) ke
tahap berikutnya sedang terjadi, ditandai oleh kekacauan intelektual dan
sosial.
Comte
sangat tajam mencela mereka yang mau mengubah masyarakat tanpa sadar akan akan
batas-batas yang diberikan oleh hukum-hukum dasar mengenai kemajuan atau
sumbangan-sumbangan yang bernilai sosial dari tahap sebelumnya, karena yang
seperti mereka inilah yang menurut Comte yang mendukung bertahannya keadaan
transisi anarkis.
3. Prinsip-Prinsip Keteraturan Sosial
Analisa
Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha
untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode
positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu
cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak
sesuai dengan positivisme, tetapi yang perasaan dan juga intelek. Akhirnya
Comte lebih tertarik untuk menjelaskan perkembangan evolusi daripada
menjelaskan stabilitas keteraturan sosial, khususnya dibagian pertama karirnya.
Satu sumbangan sosial yang penting dari tahap perkembangan pra-positif adalah
bahwa mereka mementingkan konsensus intelektual. Konsensus terhadap
kepercayaan-kepercayaan serta pandangan-pandangan dasar selalu merupakan utama
untuk solidaritas dalam masyarakat. Agama dilihat sebagai sumber utama
solidaritas sosial dan konsensus. Dan isis kepercayaan agama mendorong individu
untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan individu dan
meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu dalam
keteraturan sosial. Pentingnya agama dalam mendukung solidaritas sosial dapat
dilihat dalam kenyataan bahwa otoritas politik dan agama biasanya berhubungan
erat. Dan agama merupakan institusi pokok yang mementingkan altruisme dibanding
egoisme.
Comte
memandang individu sedemikian besarnya dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan
sosial, sehingga satuan masyarakat yang asasi adalah bukan invidu-individu
melainkan keluarga-keluarga. Karena tingkat keakraban dalam keluarga demikian
tingginya, insting-insting dasar individu dibentuk oleh perasaan sosial yang
dominan dalam keluarga itu. Tak seorang pun terlepas dari pengaruh yang besar
dari sosialisasi keluarga, karena alasan inilah Comte merasa yakin melihat
keluarga sebagai satuan masyarakat yang asasi dan sebagai suatu dasar utama
keteraturan sosial.
Keteraturan
sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi. Karena
begitu pembagian pekerjaan muncul, partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi
menghasilkan kerja sama, kesadran akan saling ketergantungan dan muncul
ikatan-ikatan sosial baru atas dasar itu. Karena keteraturan yang stabil dalam
suatu masyarakat kompleks, berbeda dengan masyarakat primitif yang berstruktur
longgar dan berdiri sendiri, bersandar pada saling ketergantungan itu yang
perkembangannya dibantu oleh pembagian pekerjaan yang sangat tinggi.
Di
lain pihak, individualisme akan meningkat karena pembagian kerja yang tinggi,
akan sangat ditekankan dengan merugikan solidaritas sosial. Maka dari itu
pemerintah harus mengatur pelbagai “bagian” dalam masyarakat itu, dan untuk
menjamin suatu tingkatan kesatuan yang cukup tinggi dalam mengatasi
konsekuensi-konsekuensi disintegrasi dari pembagian kerja. Dan kekuasaan
pemerintah akan meluas, begitu masyarakat menjadi lebih kompleks karena
bertambahnya pembagian kerja. Dalam analisanya mengenai pembagian kerja fungsi
agama yang bersifat interogatif, Comte mendahului beberapa sumbangan utama dari
Durkheim.
4. Agama Humanitas
Comte
mengakui bahwa agama dimasa lampau sudah menjadi tonggak keteraturan sosial
yang utama. Agama merupakan dasar untuk “konsensus universal” namun jika
dilihat dalam perpektif ilmiah agama didasarkan pada kekeliruan intelektual
asasi yang mula-mula sudah berkembang disaat-saat awal perkembangan intelektual
manusia. Lalu terdapat pertannyaan rumit yang dihadapi Comte mengenai bagaimana
keteraturan sosial dapat dipertahankan dalam masyarakat positif di masa yang
akan datang, dengan satu dasar tradisi pokok mengenai keteraturan sosial yang
digali oleh positivisme, sehingga untuk mengatasi pertanyaan inilah Comte
mendirikan suatu agama baru yang bernama agama Humanitas dengan mengangkat
dirinya sendiri sebagai imam agung. Agama Humanitas ini merupakan tindakan real
Comte dalam fase kedua mengenai usaha meningkatkan keteraturan sosial sebagai
cita-cita normatifnya. Dan agama Humanitas ini pulalah yang menjadi pokok
permasalahan dalam bukunya yang kedua System of Positive Politics.
Banyak
perdebatan para ahli mengenai buku kedua Comte ini. Sebagian mereka menyatakan
bahwa buku kedua Comte ini tidak sebermutu bukunya yang pertama Course of
Positive Philosophy. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Comte
menjadikan buku keduanya ini sebagai perayaan cinta terhadap Clothilde de Vaux.
Coser melihat bahwa suatu perubahan besar terjadi dalam emosi Comte, yang
sangat merugikan mutu karya intelektualnya. Manuel pun memandang antara Course
dan Systeme de Politique Positive, Comte keluar dari kesengsaraan yang mendalam
ke satu cinta yang mistik yang demikian menguasainya, bahkan murid-murid Comte
sendiripun menjadi ceman dan banyak orang yang mencemoohnya. Comte pun berusaha
membela dirinya bahwa karyanya tidak bertentangan dengan buku sebelumnya
kecuali sebagai perkembangan gagasan-gagasan yang tersembunyi terdapat dalam
karya yang terdahulu. Namun meskipun begitu, umunya karya comte yang kedua ini
ditolak baik oleh rekan-rekannya maupun kaum intelektual pada saat itu.
Disamping orang-orang yang mencela karya kedua Comte ini, Becker membela
positive Politics Comte dia mengemukakan bahwa dua fase karya Comte merupakan
satu keseluruhan yang integral.
Agama
humanitas Comte merupakan satu gagasan utopis untuk merorganisasi masyarakat
secara sempurna. Ahli-ahli sosiologi akan menjadi penjaga moral dan intelektual
dalam tata baru itu, menjadi imam-imam spiritual dalam tata sosial yang baru.
Gagasan Comte mengenai satu masyarakat positivis dibawah bimbingan moral agama
Humanitas makin lama makin terperinci. Seperti dia menyusun satu kalender baru
dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuwan-ilmuwan besar dan
lain-lain, ada beberapa ritus dan doa untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu
dan dimasukan kedalam the great being of humanity, dan juga kultus terhadap
kewanitaan dengan dirayakannya perasaan-perasaan altruistik wanita. Comte
sendiri sebagai imam agung duduk di depan altarnya sambil memegang seikat
rambut kepala Clothilde, dan mengusulkan supaya kuburnya menjadi tempat ziarah.
Hal-hal
yang terperinci ini memperlihatkan kepribadian Comte yang suka memaksa dan
otoriter, tetapi kita harus ingat bahwa dia melihat suasana sosial dan
intelektual di masa hidupanya sebagai ancaman anarki, dan seperti banyak kaum
intelektual lainnya dengan perspektif organik, dia benci dan takut akan anarki.
III. Teori Kemajuan Menutur Comte Versus Teori
Siklus Perubahan Budaya Menurut
Sorokin
Kepercayaan
Comte bahwa perkembangan positivisme akan mengakibatkan kemajuan yang
terus-menerus adalah pasti. Teorinya mengandung implikasi bahwa sejarah
bergerak ke tujuan akhir, dan bahwa tahap-tahap sejarah sebelumnya penting,
terutama karena sumbangannya terhadap tujuan akhir ini. Namun pandangan
optimistik ini mengenai masa depan, sekarang kelihatannya naif, mengingat
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam abad ini dan prospek untuk masa depan.
Ahli ilmu sosial tidak menganut kepercayaan Comte bahwa masa yang akan datang
menjamin kemajuan yang terus-menerus, juga mereka tidak melihat sejarah manusia
memperlihatkan suatu pola gerak linear yang luas menuju tahap akhir.
Untuk
mempertentangkan model Comte mengenai kemajuan linear, kita akan melihat model
perubahan sosio-budaya yang diberikan oleh Sorokin, seorang ahli sosiologi
profetis abad ke dua puluh. Kalau Comte mengusulkan suatu model linear yang
berkulminasi pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model
siklus perubahan sosial, artinya dia yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung
berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan, tanpa
membayangkan suatu tahap akhir yang final.
Pitirim
Sorokin lahir di Rusia tahun 1889 dan memperoleh pendidikan di Universitas St.
Petersburg. Kemudian dia memperoleh kedudukan akademis di sana, dan akhirnya
mendirikan dan menduduki jabatan ketua Departemen Sosiologi. Karir akademik
awalnya terganggu oleh Revolusi Komunis, karena keterlibatannya dalam
perjuangan antikomunisme, dia ditahan dan dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati
itu berubah menjadi hukuman pembuangan, dan sesudah beberapa tahun di
Cekoslowakia, dia pergi ke Amerika Serikat pada tahun 1924. Pitirim mendirikan
Center for Creative Altruism pada Universitas Harvard.
Karya-karya
Sorokin memperlihatkan pikiran yang luas dan kreatif, dan gaya tulisannya yang
menarik, mudah diterima dan meyakinkan. Meskipun pendekatan teoritisnya secara
keseluruhan tidak benar-benar cocok dengan aliran-aliran sosiologi manapun di
masa kini, tetapi dia melebihi aliran-aliran utama dalam sosiologi dalam daya
tajam dan kena.
source : buku teori sosiologi klasik dan modern, Doyle Paul Johnson
0 comments