KONSTRUKSI PEREMPUAN SEBAGAI CITRA PIGURA DALAM IKLAN DI TELEVISI
Oleh : Anna Fitriana
Keberadaan
perempuan dalam iklan menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji. Perempuan
ditampilkan untuk menciptakan citra-citra tertentu, dimana citra tersebut
dibentuk sesuai dengan keinginan pembuatnya. Dalam konteks Indonesia, Thamrin
Amal Tomagola melakukan penelitian untuk disertasinya tentang citra perempuan
di dalam iklan di 4 majalah wanita terkemuka di Indonesia.[1]
Hasil temuan Tomagola menghasilkan rumusan 5 citra tentang perempuan dalam
iklan. Citra pigura dimana penting bagi perempuan untuk tampil dengan memikat,
karenanya tuntutan untuk tampil tampak awet muda, langsing dan memiliki kulit
yang putih sangat dominan dalam iklan-iklan yang ditujukan bagi perempuan,. Citra
pilar menggambarkan bagaimana mistik femininitas disebarkan melalui iklan. Bahwa
perempuan kodratnya adalah pengurus utama rumah tangga sementara laki-laki
pencari nafkah. Citra peraduan memberikan gambaran bahwa perempuan adalah objek
segala jenis pemuasan laki-laki, terutama pemuasan seksual, sehingga
kecantikan perempuan ujungnya adalah untuk dipersembahkan kepada laki-laki.
citra pinggan pada dasarnya menampilkan dan mem-perkuat gambaran bahwa dunia
dapur adalah dunia perempuan yang tidak dapat dihindari. Citra pergaulan menampillkan
perempuan sebagai sosok yang kurang memiliki kepercayaan diri dalam pergaulan.
Perempuan
dan tubuhnya berhasil menonjolkan kenikmatan sebuah minuman, kelincahan dan
ketangguhan mobil, kemewahan berlian, dan sebagainya. Sebagian berpendapat
bahwa tubuh perempuan hanya menjadi komoditas dalam media iklan. Ada yang
berpendapat bahwa menonjolkan bagian-bagian tubuh yang indah merupakan suatu
otonomi atas dirinya sendiri. Pendapat lain juga mengatakan bahwa bergabungnya
perempuan dalam sebuah iklan tak lebih dari sebuah ekploitasi atas tubuh perempuan.
Melihat
beberapa waktu kebelakang, pada saat revolusi industri ketika itu media barat
menetukan bahwa wanita yang ideal adalah wanita yang pasif. Yang berada hanya
di ruang domestik saja, yang telah dikukuhkan dimana peran antara laki-laki dan
perempuan sudah sangat jelas bedanya.[2]
Produk- produk massal seperti makanan kaleng, sereal, dan bubuk pembersih
menarik perhatian konsumen perempuan karena terkait dengan peran domestik
mereka. Hingga akhirnya muncul buku klasik The Feminine Mystique karya feminis
Betty Friedan pada tahun 1963. Secara gamblang dalam The Feminine Mystique
Friedan menyalahkan iklan atas ketidakbahagiaan perempuan dikarenakan iklan
dianggapnya terlalu mengeksploitasi perempuan.
Lalu
kemudian para feminis radikal justru melihat bahwa produk-produk seperti
fashion dan kosmetika yang sedang tumbuh dan berkembang adalah alat
objektifikasi seksual dan instrumen opresi pria yang harus dienyahkan. Para
praktisi iklan segera menyadari adanya ancaman lain dari para feminis. Industri
kecantikan dan juga fashion, yang memang saling terkait dalam beauty culture,
mulai khawatir atas menurunnya angka penjualan produk kosmetika, minyak wangi
dan produk perawatan rambut.[3] Karenanya,
mulailah para pengiklan membuat rumusan baru tentang isi pesan atas
produk-produknya yang intinya mengatakan bahwa menjadi cantik dan fashionable
adalah sebuah keharusan karena ia adalah alat tukar tersendiri. Terdapat
pergeseran makna iklan terhadap perempuan, berawal dari feminine mystique,
dimana perempuan merupakan sosok yang pasif yang hanya berada pada ranah
domestik, berubah menjadi menjadi perempuan dengan beauty myth, sebuah mitos
tentang perempuan harus cantik agar dapat diterima oleh lingkungannya. Jika
feminine mystique menekankan pada domestifikasi perempuan yang menyediakan
reward kesejahteraan hidup sebagai ibu dan atau istri, maka beauty myth melihat
mitos kecantikan akan memberi reward nilai komersial dan nilai sosial bagi
perempuan. [4]
Iklan
sama halnya dengan berita. Dimana berita bukan merupakan ‘jendela dunia’ yang
tanpa perantara, melainkan suatu representasi hasil seleksi dan konstruksian
yang membentuk ‘realitas’. [5]
Iklan tidak menampilkan suatu realitas sosial yang nyata, namun apa yang
ditampikan oleh iklan dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya. Sehingga
ketika iklan membentuk standar-standar apa yang dinamakan dengan cantik,
seperti tubuh yang langsing, tinggi, kulit putih bersinar, dan yang lainnya, maka
perempuan-perempuan akan berlomba-lomba menjadi seperti apa yang ditampilkan dengan
iklan tersebut. Para perempuan akan selalu untuk menyesuaikan bentuk tubuh
mereka dengan apa kata sosial dan budaya masyarakat mengenai konsep kecantikan itu
sendiri. [6]
Berbagai
iklan produk dimulai dengan produk kecantikan, alat olahraga hingga makanan
rendah kalori memenuhi layar televisi dengan menggambarkan konsep cantik yang
diciptakan, sehingga para perempuan tidak merasa puas dengan tubuhnya. Iklan
mendikte perempuan untuk memiliki tubuh ideal melalui produk yang ditawarkan.
Beberapa
contoh iklan yang menampilkan wanita sebagai citra pigura.
1.
WRP
WRP merupakan suatu produk yang
dikonsentrasikan untuk wanita diet. Dalam iklan WRP diperlihatkan seorang
wanita berbaju merah yang memiliki tubuh yang tinggi dan langsing. Wanita
tersebut mengatakan “dulu aku juga limited edition”, dimana kata limited
edition tersebut mengarah pada wanita yang bertubuh gemuk, sehingga ia
kesulitan ketika ingin membeli pakaian. Setelah ia memakai produk WRP ia
mengaku memiliki tubuh yang ideal, dimana hal tersebut diperlihatkan dengan ia
melewati jalan yang sempit namun tetap bisa ia lalui. Iklan dengan tagline “sure you can do” ini mengajak para
wanita untuk berdiet agar memiliki tubuh yang sempurna. Tentu diet yang
dianjurkan pun dengan menggunakan produk ini.
Diantara representasi perempuan yang
paling kuat dan berpengaruh adalah bahwa kebudayaan barat barat mempromosikan
‘tubuh langsing’ sebagai norma kultural disipliner. [7]
Kelangsingan adalah kondisi ideal terkini bagi daya tarik perempuan. WRP
memperlihatkan bahwa diet merupakan life
style, sehingga diet bukanlah suatu hal yang aneh untuk dijalani.
2. Vaseline
Kulit putih merupakan salah satu unsur
yang ditonjolkan dalam konsep cantik yang diperlihatkan oleh media. Vaseline
sebagai produk handbody memperlihatkan dalam iklannya, beberapa wanita yang
sedang dalam kereta, lalu ada seorang wanita yang mencoba menutupi bagian
lengannya karena kulitnya yang belang, wanita lain yang melihat hal tersebut
menyodorkannnya handbody vaseline agar kulitnya menjadi putih merata. Dalam
iklan tersebut terdapat kalimat “ Ada alasan 9 dari 10 wanita kini merasa
kulitnya cerah seketika” hal ini menunjukkan bahwa Vaseline dapat membuat kulit
putih secara cepat. Dalam iklan tersebut juga diperlihatkan dalam adegan dimana
para wanita tersebut ketika turun dari kereta menampilkan ekspresi bahagia dan
lebih percaya diri karena kulitnya yang menjadi lebih cerah. Hal ini memberi
pesan kepada masyarakat khususnya para perempuan, bahwa kulit putih cerah
merupakan warna kulit terbaik yang dapat membuat perempuan menjadi lebih cantik
dan percaya diri.
Dari pemaparan diatas, dapat kita lihat
bahwa iklan –iklan cenderung lebih menonjolkan dan mengasosiasikan gaya hidup
dan penampilan perempuan yang diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan yang
tidak hanya langsing namun juga indah. Iklan secara halus membuat
standar-standar kecantikan dimulai dari klasifikasi bentuk tubuh, warna kulit,
dan lainnya. Selain itu, bentuk tubuh perempuan
dikonstruksi oleh industri-industri yang terkait dengan tubuh dan kecantikan
perempuan seperti industri kosmetik, makanan dan minuman, diet, dan sebagainya.
Dimana hal ini menunjukkan bahwa kapitalis turut serta mengkonstruksi konsep
cantik yang dibentuk dan mengambil keuntungan melalui produk-produknya.
Daftar
Pustaka
Barker,
Chris .2013. Cultural Studies. Diterjemahkan oleh : Nurhadi. Bantul : Kreasi
Wacana.
Hardy, Gail
Maria. 1998. “Ketubuhan Perempuan dalam
Interaksi Sosial: Suatu Masalah Perempuan dalam Heterogenitas Kelompoknya”,
Dalam Seri Siasat Kebudayaan. Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis. Yogyakarta
: Kanisius.
Hidajadi,
Miranti. “Tubuh : Sejarah Perkembangan
dan Berbagai Masalahnya” dalam Jurnal Perempuan no 15. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan.
Permatasari, Pipit. 2008. Analisis Semiotika terhadap Citra Perempuan
di Rubrik “Liputan Malam” Majalah Popular Edisi Januari- Maret 2008.
Skripsi Sarjana pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. (online) http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8591/1/PIPIT%20PERMATASARI-FDK.pdf,
diakses pada tanggal 6 Juni 2015
Santi, sarah. 2004. Perempuan Dalam Iklan: Otonomi Atas Tubuh Atau Komoditi? (online) http://www.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/2012/12/esaunggul.ac_.id
Perempuan_Dalam_Iklan_Otonomi_Atas_Tubuh_Atau_Komoditi__edit1.pdf
, diakses pada tanggal 6 Juni 2015
[2] http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8591/1/PIPIT%20PERMATASARI-FDK.pdf,
diakses pada tanggal 6 Juni 2015
[3] Faludi,
Susan, “Backlash: The Undeclared War Against American Women”, dalam Sarah
Santi, Perempuan Dalam Iklan: Otonomi Atas Tubuh Atau Komoditi? (online) http://www.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/2012/12/esaunggul.ac_.id
Perempuan_Dalam_Iklan_Otonomi_Atas_Tubuh_Atau_Komoditi__edit1.pdf, diakses
pada 6 Juni 2015
[4] Hardy,
Gail Maria. 1998. “Ketubuhan Perempuan dalam Interaksi Sosial: Suatu Masalah
Perempuan
dalam Heterogenitas Kelompoknya”, Dalam Seri Siasat
Kebudayaan. Perempuan dan Politik
Tubuh Fantastis, Yogyakarta : Kanisius. Hal : 119
[5] Chris
Barker.2013. Cultural Studies.
Diterjemahkan oleh : Nurhadi. Bantul : Kreasi Wacana. Hal : 276
[6]
Hidajadi, Miranti. “Tubuh : Sejarah Perkembangan dan Berbagai Masalahnya” dalam
Jurnal Perempuan no 15. Jakarta :
Yayasan Jurnal Perempuan. Hal : 10
[7] Chris
Barker.2013. Cultural Studies.
Diterjemahkan oleh : Nurhadi. Bantul : Kreasi Wacana. Hal : 268
0 comments