AUGUSTE COMTE VERSUS PITIRIM SOROKIN SERTA MASALAH KEMAJUAN BUDAYA

by - 6:45 AM



1. Riwayat Hidup Comte

  

             Isidore Marie Auguste François Xavier Comte lahir pada tanggal 17 Januari 1798 di Montpellier, Prancis. Ia bersekolah di Ecole Polytechnique. Keluarga comte beragama katolik dan berdarah bangsawan. Comte sendiri merupakan sosok pribadi yang suka memberontak dan keras kepala, namun ia juga merupakan seseorang yang metodis, disiplin dan refleksif.
            Comte mengawali karirnya sebagai guru les matematika. Ia pun menjadi sekertaris Saint Simon, dan semenjak menjadi sekertaris Simon, minat Comte terhadap masalah-masalah kemanusiaan mulai berkembang. Kedunya saling bekerja sama dalam mengembangkan karya mereka. Karya Comte dibawah asuhan Simon terlihat sangat meyakinkan, kecermelangan intelektual serta ketekunannya membuat dirinya sebagai sosok terpandang di kalangan intelektual Prancis. Namun, setelah 7 tahun bekerja sama, hubungan Comte dan Simon retak karena perdebatan mengenai kepengarangan karya bersama. Namun sebagian hal ini mungkin disebabkan karena sifat dari kepribadian Comte, Comte mengalami paranoid yang berat, dan terkadang kegilaannya itu ia arahkan kepada teman-temannya. Pada suatu waktu, Comte mengalami gangguan mental yang serius, dan dipulangkan dari rumah sakit sebelum sembuh, ia pun mencoba melakukan aksi bunuh diri namun gagal dengan cara menceburkan diri ke dalam sungai Seine.

            Ketika Comte sedang mengembangkan filsafat positif yang komprehensif,ia menikah dengan seorang mantan pelacur yang bernama Caroline Massin. Caroline merupakan sosok istri yang sabar, ia mengurus dan memenuhi kebetuhan Comte ketika suaminya tersebut keluar dari rumah sakit, meskipun ia menderita menanggung beban emosional dan ekonomi dengan Comte. Dan terkadang Caroline menerima perlakuan kasar comte. Sepanjang hidupnya, Comte memang terus menerus hidup pas-pasan. Pekerjaannya sebagai guru les, menyajikan ide-ide teoritisnya dibayar oleh peserta-pesertanya. Dia tidak pernah mampu menjamin posisi profesional yang dibayar dengan semestinya dalam sistem pendidikan tinggi Prancis. Bahkan di akhir hayatnya, Comte hidup dari pemberian orang-orang yang mengaguminya dan pengikut agama humanitasnya. Setelah pisah untuk sesaat, Ia pun bercerai, Caroline pergi dan membiarkan dia hidup sengsara dan gila.
            Tahun 1844, setelah Comte menyelesaikan enam jilid karyanya yang berjudul Course of positive Philosophy, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Clothilde de Vaux. Comte mencintai Clothilde namun sayang cintanya bertepuk sebelah tangan. Clothilde mengidap penyakit tbc dan meninggal setelah beberapa bulan bertemu Comte. Kehidupan comte pun kembali terguncang setelah kematian Clothilde, dan dia bersumpah untuk membaktikan hidupnya untuk mengenang bidadarinya tersebut.
            Terlihat pada karya kedua comte System of positive politics yang ia gunakan untuk mengenang bidadarinya tersebut, buku ini seharusnya merupakan suatu pernyataan menyeluruh mengenai strategi pelaksanaan praktis pemikirannya mengenai filsafat postif yang sudah dikemukakan dalam bukunya course of positive philosophy, justru menjadi suatu bentuk perayaan cinta. Seperti gagasan dalam buku politik positif ini yang menyebutkan bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang dalam kehidupannya adalah perasaan, bukan pertumbuhan inteligensi manusia yang mantap. Comte pun mengusulkan suatu reorganisasi masyarakat yang bertujuan untuk membentuk suatu agama baru yang bernama agama Humanitas, dan agama ini harus sesuai dengan standar-standar intelektual serta persyaratan positivisme. Konsep agama humanitas adalah wanita atau kewanitaan akan disembah sebagai perwujudan kehidupan perasaan dan sebagai pernyataan yang paling lengkap dari cinta dan altruisme. Comte pun menyatakan bahwa perasaan wanita dan altruisme lebih tinggi daripada intelek dan egoisme pria menurut nilai sosialnya. Bahkan dalam kehidupan Comte sendiri, sosok Clothilde de Vaux menggantikan sosok Bunda Maria dan menjadi simbol perwujudan “wanita ideal”.
            Perubahan tekanan dalam tulisan Comte membingungkan para pengagumnya dari kalangan cendekiawan Prancis, tetapi meskipun begitu ia tetap mengemukakan gagasan-gagasannya. Bahkan Comte menjadi sedemikian otoriter dan menyatakan dirinya sebagai “Pendiri Agama Universal, Imam Agung Humanitas”. Karena berkurangnya dukungan intelektual, ia pun beralih ke masyarakat luas dan pelbagai pimpinan politik. Ia menulis buku berjudul Positivist Catechism untuk wanita dan pekerja dan buku berjudul Appeal to Conservatives untuk pimpinan-pimpinan politik. Comte juga berharap ahli sosiologi lainnya akan mengikuti bimbingannya serta meningkatkan rasa keterarahan dan penyatu-rasaan dengan humanitas. Dan ini merupakan gagasannya misi Comte di tahun 1857, ketika ia mendapat serangan kanker dan meninggal.
            Untuk mengetahui tempat Comte dalam sejarah pemikiran sosial dan berdirinya disiplin sosiologi, perlu memahami suasana sosial dan politik di tahun-tahunsesudah Revolusi Prancis. Banyak kaum intelektual yang mewarisi kepercayaan akan akal budi serta kemajuan di masa pencerahan abad ke-18 yang optimis, khususnya di masa awal revolusi itu. Kepercayaan ahli-ahli filsafat pencerahan ini pada kemampuan akal budi manusia untuk mengubah masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah tidak terbatas. Optimisme ini terlihat dalam tulisan-tulisan dari para pemikir Prancis seperti Condorcet dan Turgot serta Saint Simon. Mereka meyakini bahwa akan ada masyarakat baru yang dibuka oleh akal budi serta kemajuan ilmu, dan tradisi-tradisi kuno yang tidak dapat bertahan lagi terhadap penalaran akan segera dicanmpakkan. Tetapi kekerasan revolusi yang berkelanjutan serta mengalami pergolakan sosial dan kekacauan moral membuat sebagian orang berpikir-pikir kembali. Dan juga munculnya reaksi konservatif yang menghargai kembali ketahanan tradisi-tradisi kebudayaan. Meskipun Comte sangat dipengaruhi oleh kepercayaan abad pencerahan, namun ia juga dipengaruhi oleh rasa tidak percaya kelompok konservatif terhadap individualisme dan tekanan kelompok konservatif.
            Martindale melihat sumbangan kreatif Comte yaitu Positivisme dan Organisme merupakan dua perspektif yang saling bertentangan. Orang positivis percaya bahwa hukum-hukum alam dan gejala sosial dapat dugunakan dasar pembaruan-pembaruan sosial dan politik sehingga akan menghasilkan masyarakat dimana penalaran akal budi akan menghasilkan kerja sama dan takhayul, ketakutan,kebodohan,paksaan akan dilenyapkan. Sedangkan dalam perspektif organik, individu tenggelam dalam kenyataan masyarakat yang meliputinya, serta tradisi-tradisinya. Masyarakat memperlihatkan hukum-hukumnya sendiri, dan hukum-hukum ini tidak dapat disempurnakan oleh pelbagai pembaruan-pembaruan buatan dan sepotong-sepotong seperti dikemukakan oleh kelompok positivis. Kaum organis juga lebih suka organisasi masyarakat hirarkis tradisional daripada tekanan postivis pada kebebasan dan persamaan, karena keseluruhan masyarakat organik berlandas pada saling-ketergantungan antara individu-individu yang tempatnya berbeda-beda dalam kehidupan.
            Comte hidup dalam suasana politik dan sosial yang bergejolak (Revolusi Prancis, rezim Napoleon,pergantian monarki, revolusi dan periode republik) dengan lingkungan yang seperti itu tidak heran kalau Comte sangat menekankan pentingnya keteraturan sosial. Menurut Comte masyarakat diancam oleh kekacauan intelektual dan sosial politik, serta menegakkan kembali keteraturan atas dasar pengetahuan hukum masyarakat postif yang logis sangat penting untuk menjamin kemajuan yang berjalan terus.

II. Perspektif Positivis Comte tentang Masyarakat 
            Comte melihat bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menuntut penggunaan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu lainnya, dan Andreski memandang pendirian Comte inilah yang merupakan sumbangan tak terhingganya nilainya bagi perkembangan sosiologi.
            Comte melihat bahwa perkembangan ilmu tentang masyarakat merupakan puncak suatu proses kemajuan intelektual. Mengatasi cara-cara berpikir mutlak seperti pada saat pra positif, menerima kenisbian pengetahuan, dan terus menerus terbuka terhadap kenyataan-kenyataan baru merupakan ciri khas pendekatan positif yang digambarkan Comte.
            Sesudah menentukan sifat epistemologi umum (seperangkat gagasan) dari pendekatan positif, Comte menunjukan metode-metode khusus penelitian empiris yang sama untuk semua ilmu : pengamatan, eksperimen, dan perbandingan. Gagasan untuk menggunakan metode-metode penelitian empiris yang sama seperti yang digunakan dalam ilmu Fisika dan Biologi untuk menganalisa gejala sosial sejalan dengan pandangan Comte mengenai kesatuan filosofis dari semua ilmu. Karena menurut Comte semua ilmu memperlihatkan hukum perkembangan intelektual yang sama, seperti nampak dalam perkembangan melalui tiga tahap pemikiran teologis, metafisik, dan positif.


1. Hukum Tiga Tahap
            Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai ke peradaban Prancis abad ke 19 yang sangat maju. Hukum ini menyatakan bahwa masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama, yaitu teologis, metafisik, dan positif.
            Tahap teologis atau fiktif memandang bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supernatural. Teologi merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia. Comte membagi teologis dalam tiga periode,fetisisme,politeisme, dan monoteisme. fetisisme bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politeisme periode dimana kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Monoteisme tahap dimana kepercayaan terhadap banyak dewa itu diganti menjadi kepercayaan akan satu yang tertinggi.
            Tahap metafisik atau abstrak memandang akal budi mengandaikan bukan hal supernatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda  (abstraksi-abstraksi yang dipersonafikasikan). Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasiyang dapatditemukan dengan akal budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut-turut dari semangat teologis ke munculnya semangat metafisik yang mantap.
            Positif atau ilmiah ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai pengetahuan terakhir. Semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas.
            Gagasan tentang evolusi perkembangan melalui tiga tahap ini bukan hanya milik Comte saja. Untuk menggambarkan perbedaan yang ditekankan Comte, bayangkanlah kita menjelaskan suatu gejala angin taufan. Dalam tahap teologi, gejala angin taufan itu akan digambarkan sebagai hasil tindakan langsung dari seorang dewa angin atau tuhan, sedangkan dalam tahap metafisik angin taufan itu akan dijelaskan sebagai manifestasi dari suatu hukum alam yang tidak dapat diubah, sedangkan dalam tahap positif angin taufan itu dijelaskan sebagai hasil dari suatu kombinasi tertentu dari tekanan-tekanan udara,kecepatan angin, kelembaban dan suhu semua variabel yang dapat diukur, yang terus berubah, dan berinteraksi sehingga menghasilkan angin taufan tersebut.
2.  Hubungan antara Tahap-Tahap Intelektual dan Organisasi Sosial
            Dalam melengkapi penulusuran akan perkembangan intelektual manusia, Comte mau meperlihatkan sumbangan masing-masing tahap terhadap atau dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Comte pun memiliki persamaan dengan kelompok progresif yang nampaknya siap untuk menghapuskan sebagian besar sejarah pemikiran manusia terhadap dongeng bohong dan takhayul demi takhayul yang dapat menghalangi perkembangan manusia. Seperti pada masa fetisisme awal, usaha-usaha untuk menjelaskan gejala dengan takhayul primitif membantu timbulnya pemikiran spekulatif dan mendorong peralihan dari cara hidup nomaden menjadi pertanian menetap. Dalam tahap politeistik munculnya kependetaan mendorong timbulnya suatu kelas spekulatif yang dapat menyumbangkan tenaganya untuk menguraikan dan meneruskan tradisi-tradisi.
            Selain sumbangan tahap-tahap sebelumnya terhdap evolusi sosial, masing-masing tahap juga memiliki hubungan afinitas yang khas dengan jenis organisasi sosial dimana cara berpikir itu dominan. Dengan kata lain, dalam setiap tahap itu, pola organisasi sosial yang dominan mencerminkan pengaruh kepercayaan masing-masing serta gaya intelektualnya. Khususnya Comte merasa bahwa tahap teologis mendukung tipe organisasi sosial militer, sedangkan tahap positif terakhir mendukung tipe keteraturan sosial yang bersifat industrial. Tahap metafisik peralihan berhubungan dengan dominasi sosial dari “ahli hukum”, istilah Comte untuk menunjukkan mereka yang berusaha menarik doktrin-doktrin sosial dan politik dari pemahaman tentang hukum-hukum alam. Argumentasi-argumentasi Comte untuk menjelaskan hubungan-hubungan secara terperinci menekankan bahwa dalam tahap teologis, dukungan dari otoritas religius yang mengesahkan adalah perlu untuk menanamkan disiplin sosialyang perlu untuk kegiatan militer.
            Munculnya suatu masyarakat industri dirangsang oleh pertumbuhan filsafat dan ilmu pengetahuan positif, dan pada gilirannyamerangsang pertumbuhan ilmu selanjutnya. Pengetahuan ilmiah merupakan dasar kemajuan teknologi yang memungkinkan perkembangan industri. Selain itu, mentalitas positif dan mentalitas industri bukan sesuatu yang bersifat dogmatis, melainkan suatu hal yang dapat diuji dan terus menerus mengusahakan kemajuan manusia. Pergantian dari dominasi militer ke dominasi industri yang memperlihatkan dimana manusia tidak lagi mengeksploitasi sesama manusia namun beralih mengeksploitasi alam.
            Cepatnya perubahan dari satu tahap intelektual ke yang berikutnya, berlainan dalam periode sejarah yang berbeda-beda. Beberapa periode ditandai dengan stabilitas yang agak tinggi, apabila konsensus atas dasar kepercayaan dan pandangan-pandangan adalah relatif tinggi, dan organisasi sosial, struktur politik,cita-cita moral dan kondisi-kondisi materil memperlihatkan suatu tingkat yang saling ketergantungan harmonis yang tinggi. Sebaliknya, periode-periode dimana perubahan yang pesat dari satu tahap (tahap kecil) ke tahap berikutnya sedang terjadi, ditandai oleh kekacauan intelektual dan sosial.
            Comte sangat tajam mencela mereka yang mau mengubah masyarakat tanpa sadar akan akan batas-batas yang diberikan oleh hukum-hukum dasar mengenai kemajuan atau sumbangan-sumbangan yang bernilai sosial dari tahap sebelumnya, karena yang seperti mereka inilah yang menurut Comte yang mendukung bertahannya keadaan transisi anarkis.
3. Prinsip-Prinsip Keteraturan Sosial
            Analisa Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme, tetapi yang perasaan dan juga intelek. Akhirnya Comte lebih tertarik untuk menjelaskan perkembangan evolusi daripada menjelaskan stabilitas keteraturan sosial, khususnya dibagian pertama karirnya. Satu sumbangan sosial yang penting dari tahap perkembangan pra-positif adalah bahwa mereka mementingkan konsensus intelektual. Konsensus terhadap kepercayaan-kepercayaan serta pandangan-pandangan dasar selalu merupakan utama untuk solidaritas dalam masyarakat. Agama dilihat sebagai sumber utama solidaritas sosial dan konsensus. Dan isis kepercayaan agama mendorong individu untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan individu dan meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu dalam keteraturan sosial. Pentingnya agama dalam mendukung solidaritas sosial dapat dilihat dalam kenyataan bahwa otoritas politik dan agama biasanya berhubungan erat. Dan agama merupakan institusi pokok yang mementingkan altruisme dibanding egoisme.
            Comte memandang individu sedemikian besarnya dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga satuan masyarakat yang asasi adalah bukan invidu-individu melainkan keluarga-keluarga. Karena tingkat keakraban dalam keluarga demikian tingginya, insting-insting dasar individu dibentuk oleh perasaan sosial yang dominan dalam keluarga itu. Tak seorang pun terlepas dari pengaruh yang besar dari sosialisasi keluarga, karena alasan inilah Comte merasa yakin melihat keluarga sebagai satuan masyarakat yang asasi dan sebagai suatu dasar utama keteraturan sosial.
            Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi. Karena begitu pembagian pekerjaan muncul, partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerja sama, kesadran akan saling ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan sosial baru atas dasar itu. Karena keteraturan yang stabil dalam suatu masyarakat kompleks, berbeda dengan masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri, bersandar pada saling ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh pembagian pekerjaan yang sangat tinggi.
            Di lain pihak, individualisme akan meningkat karena pembagian kerja yang tinggi, akan sangat ditekankan dengan merugikan solidaritas sosial. Maka dari itu pemerintah harus mengatur pelbagai “bagian” dalam masyarakat itu, dan untuk menjamin suatu tingkatan kesatuan yang cukup tinggi dalam mengatasi konsekuensi-konsekuensi disintegrasi dari pembagian kerja. Dan kekuasaan pemerintah akan meluas, begitu masyarakat menjadi lebih kompleks karena bertambahnya pembagian kerja. Dalam analisanya mengenai pembagian kerja fungsi agama yang bersifat interogatif, Comte mendahului beberapa sumbangan utama dari Durkheim.
4. Agama Humanitas
            Comte mengakui bahwa agama dimasa lampau sudah menjadi tonggak keteraturan sosial yang utama. Agama merupakan dasar untuk “konsensus universal” namun jika dilihat dalam perpektif ilmiah agama didasarkan pada kekeliruan intelektual asasi yang mula-mula sudah berkembang disaat-saat awal perkembangan intelektual manusia. Lalu terdapat pertannyaan rumit yang dihadapi Comte mengenai bagaimana keteraturan sosial dapat dipertahankan dalam masyarakat positif di masa yang akan datang, dengan satu dasar tradisi pokok mengenai keteraturan sosial yang digali oleh positivisme, sehingga untuk mengatasi pertanyaan inilah Comte mendirikan suatu agama baru yang bernama agama Humanitas dengan mengangkat dirinya sendiri sebagai imam agung. Agama Humanitas ini merupakan tindakan real Comte dalam fase kedua mengenai usaha meningkatkan keteraturan sosial sebagai cita-cita normatifnya. Dan agama Humanitas ini pulalah yang menjadi pokok permasalahan dalam bukunya yang kedua System of Positive Politics.
            Banyak perdebatan para ahli mengenai buku kedua Comte ini. Sebagian mereka menyatakan bahwa buku kedua Comte ini tidak sebermutu bukunya yang pertama Course of Positive Philosophy. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Comte menjadikan buku keduanya ini sebagai perayaan cinta terhadap Clothilde de Vaux. Coser melihat bahwa suatu perubahan besar terjadi dalam emosi Comte, yang sangat merugikan mutu karya intelektualnya. Manuel pun memandang antara Course dan Systeme de Politique Positive, Comte keluar dari kesengsaraan yang mendalam ke satu cinta yang mistik yang demikian menguasainya, bahkan murid-murid Comte sendiripun menjadi ceman dan banyak orang yang mencemoohnya. Comte pun berusaha membela dirinya bahwa karyanya tidak bertentangan dengan buku sebelumnya kecuali sebagai perkembangan gagasan-gagasan yang tersembunyi terdapat dalam karya yang terdahulu. Namun meskipun begitu, umunya karya comte yang kedua ini ditolak baik oleh rekan-rekannya maupun kaum intelektual pada saat itu. Disamping orang-orang yang mencela karya kedua Comte ini, Becker membela positive Politics Comte dia mengemukakan bahwa dua fase karya Comte merupakan satu keseluruhan yang integral.
            Agama humanitas Comte merupakan satu gagasan utopis untuk merorganisasi masyarakat secara sempurna. Ahli-ahli sosiologi akan menjadi penjaga moral dan intelektual dalam tata baru itu, menjadi imam-imam spiritual dalam tata sosial yang baru. Gagasan Comte mengenai satu masyarakat positivis dibawah bimbingan moral agama Humanitas makin lama makin terperinci. Seperti dia menyusun satu kalender baru dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuwan-ilmuwan besar dan lain-lain, ada beberapa ritus dan doa untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu dan dimasukan kedalam the great being of humanity, dan juga kultus terhadap kewanitaan dengan dirayakannya perasaan-perasaan altruistik wanita. Comte sendiri sebagai imam agung duduk di depan altarnya sambil memegang seikat rambut kepala Clothilde, dan mengusulkan supaya kuburnya menjadi tempat ziarah.
            Hal-hal yang terperinci ini memperlihatkan kepribadian Comte yang suka memaksa dan otoriter, tetapi kita harus ingat bahwa dia melihat suasana sosial dan intelektual di masa hidupanya sebagai ancaman anarki, dan seperti banyak kaum intelektual lainnya dengan perspektif organik, dia benci dan takut akan anarki.


III. Teori Kemajuan Menutur Comte Versus Teori Siklus Perubahan Budaya Menurut         Sorokin
            Kepercayaan Comte bahwa perkembangan positivisme akan mengakibatkan kemajuan yang terus-menerus adalah pasti. Teorinya mengandung implikasi bahwa sejarah bergerak ke tujuan akhir, dan bahwa tahap-tahap sejarah sebelumnya penting, terutama karena sumbangannya terhadap tujuan akhir ini. Namun pandangan optimistik ini mengenai masa depan, sekarang kelihatannya naif, mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam abad ini dan prospek untuk masa depan. Ahli ilmu sosial tidak menganut kepercayaan Comte bahwa masa yang akan datang menjamin kemajuan yang terus-menerus, juga mereka tidak melihat sejarah manusia memperlihatkan suatu pola gerak linear yang luas menuju tahap akhir.
            Untuk mempertentangkan model Comte mengenai kemajuan linear, kita akan melihat model perubahan sosio-budaya yang diberikan oleh Sorokin, seorang ahli sosiologi profetis abad ke dua puluh. Kalau Comte mengusulkan suatu model linear yang berkulminasi pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model siklus perubahan sosial, artinya dia yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan, tanpa membayangkan suatu tahap akhir yang final.
            Pitirim Sorokin lahir di Rusia tahun 1889 dan memperoleh pendidikan di Universitas St. Petersburg. Kemudian dia memperoleh kedudukan akademis di sana, dan akhirnya mendirikan dan menduduki jabatan ketua Departemen Sosiologi. Karir akademik awalnya terganggu oleh Revolusi Komunis, karena keterlibatannya dalam perjuangan antikomunisme, dia ditahan dan dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati itu berubah menjadi hukuman pembuangan, dan sesudah beberapa tahun di Cekoslowakia, dia pergi ke Amerika Serikat pada tahun 1924. Pitirim mendirikan Center for Creative Altruism pada Universitas Harvard.
            Karya-karya Sorokin memperlihatkan pikiran yang luas dan kreatif, dan gaya tulisannya yang menarik, mudah diterima dan meyakinkan. Meskipun pendekatan teoritisnya secara keseluruhan tidak benar-benar cocok dengan aliran-aliran sosiologi manapun di masa kini, tetapi dia melebihi aliran-aliran utama dalam sosiologi dalam daya tajam dan kena. 

source : buku teori sosiologi klasik dan modern, Doyle Paul Johnson


You May Also Like

0 comments