KONSTRUKSI PEREMPUAN SEBAGAI CITRA PIGURA DALAM IKLAN DI TELEVISI

by - 10:33 AM

 Oleh : Anna Fitriana
Pendidikan Sosiologi B 2013 (4815133952) FIS UNJ



Keberadaan perempuan dalam iklan menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji. Perempuan ditampilkan untuk menciptakan citra-citra tertentu, dimana citra tersebut dibentuk sesuai dengan keinginan pembuatnya. Dalam konteks Indonesia, Thamrin Amal Tomagola melakukan penelitian untuk disertasinya tentang citra perempuan di dalam iklan di 4 majalah wanita terkemuka di Indonesia.[1] Hasil temuan Tomagola menghasilkan rumusan 5 citra tentang perempuan dalam iklan. Citra pigura dimana penting bagi perempuan untuk tampil dengan memikat, karenanya tuntutan untuk tampil tampak awet muda, langsing dan memiliki kulit yang putih sangat dominan dalam iklan-iklan yang ditujukan bagi perempuan,. Citra pilar menggambarkan bagaimana mistik femininitas disebarkan melalui iklan. Bahwa perempuan kodratnya adalah pengurus utama rumah tangga sementara laki-laki pencari nafkah. Citra peraduan memberikan gambaran bahwa perempuan adalah objek segala jenis pemuasan laki-laki, terutama pemuasan seksual, sehingga kecantikan perempuan ujungnya adalah untuk dipersembahkan kepada laki-laki. citra pinggan pada dasarnya menampilkan dan mem-perkuat gambaran bahwa dunia dapur adalah dunia perempuan yang tidak dapat dihindari. Citra pergaulan menampillkan perempuan sebagai sosok yang kurang memiliki kepercayaan diri dalam pergaulan.

Perempuan dan tubuhnya berhasil menonjolkan kenikmatan sebuah minuman, kelincahan dan ketangguhan mobil, kemewahan berlian, dan sebagainya. Sebagian berpendapat bahwa tubuh perempuan hanya menjadi komoditas dalam media iklan. Ada yang berpendapat bahwa menonjolkan bagian-bagian tubuh yang indah merupakan suatu otonomi atas dirinya sendiri. Pendapat lain juga mengatakan bahwa bergabungnya perempuan dalam sebuah iklan tak lebih dari sebuah ekploitasi atas tubuh perempuan.
Melihat beberapa waktu kebelakang, pada saat revolusi industri ketika itu media barat menetukan bahwa wanita yang ideal adalah wanita yang pasif. Yang berada hanya di ruang domestik saja, yang telah dikukuhkan dimana peran antara laki-laki dan perempuan sudah sangat jelas bedanya.[2] Produk- produk massal seperti makanan kaleng, sereal, dan bubuk pembersih menarik perhatian konsumen perempuan karena terkait dengan peran domestik mereka. Hingga akhirnya muncul buku klasik The Feminine Mystique karya feminis Betty Friedan pada tahun 1963. Secara gamblang dalam The Feminine Mystique Friedan menyalahkan iklan atas ketidakbahagiaan perempuan dikarenakan iklan dianggapnya terlalu mengeksploitasi perempuan.
Lalu kemudian para feminis radikal justru melihat bahwa produk-produk seperti fashion dan kosmetika yang sedang tumbuh dan berkembang adalah alat objektifikasi seksual dan instrumen opresi pria yang harus dienyahkan. Para praktisi iklan segera menyadari adanya ancaman lain dari para feminis. Industri kecantikan dan juga fashion, yang memang saling terkait dalam beauty culture, mulai khawatir atas menurunnya angka penjualan produk kosmetika, minyak wangi dan produk perawatan rambut.[3] Karenanya, mulailah para pengiklan membuat rumusan baru tentang isi pesan atas produk-produknya yang intinya mengatakan bahwa menjadi cantik dan fashionable adalah sebuah keharusan karena ia adalah alat tukar tersendiri. Terdapat pergeseran makna iklan terhadap perempuan, berawal dari feminine mystique, dimana perempuan merupakan sosok yang pasif yang hanya berada pada ranah domestik, berubah menjadi menjadi perempuan dengan beauty myth, sebuah mitos tentang perempuan harus cantik agar dapat diterima oleh lingkungannya. Jika feminine mystique menekankan pada domestifikasi perempuan yang menyediakan reward kesejahteraan hidup sebagai ibu dan atau istri, maka beauty myth melihat mitos kecantikan akan memberi reward nilai komersial dan nilai sosial bagi perempuan. [4]

Iklan sama halnya dengan berita. Dimana berita bukan merupakan ‘jendela dunia’ yang tanpa perantara, melainkan suatu representasi hasil seleksi dan konstruksian yang membentuk ‘realitas’. [5] Iklan tidak menampilkan suatu realitas sosial yang nyata, namun apa yang ditampikan oleh iklan dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya. Sehingga ketika iklan membentuk standar-standar apa yang dinamakan dengan cantik, seperti tubuh yang langsing, tinggi, kulit putih bersinar, dan yang lainnya, maka perempuan-perempuan akan berlomba-lomba menjadi seperti apa yang ditampilkan dengan iklan tersebut. Para perempuan akan selalu untuk menyesuaikan bentuk tubuh mereka dengan apa kata sosial dan budaya masyarakat mengenai konsep kecantikan itu sendiri. [6]
Berbagai iklan produk dimulai dengan produk kecantikan, alat olahraga hingga makanan rendah kalori memenuhi layar televisi dengan menggambarkan konsep cantik yang diciptakan, sehingga para perempuan tidak merasa puas dengan tubuhnya. Iklan mendikte perempuan untuk memiliki tubuh ideal melalui produk yang ditawarkan.
Beberapa contoh iklan yang menampilkan wanita sebagai citra pigura.
1. WRP

WRP merupakan suatu produk yang dikonsentrasikan untuk wanita diet. Dalam iklan WRP diperlihatkan seorang wanita berbaju merah yang memiliki tubuh yang tinggi dan langsing. Wanita tersebut mengatakan “dulu aku juga limited edition”, dimana kata limited edition tersebut mengarah pada wanita yang bertubuh gemuk, sehingga ia kesulitan ketika ingin membeli pakaian. Setelah ia memakai produk WRP ia mengaku memiliki tubuh yang ideal, dimana hal tersebut diperlihatkan dengan ia melewati jalan yang sempit namun tetap bisa ia lalui. Iklan dengan tagline “sure you can do” ini mengajak para wanita untuk berdiet agar memiliki tubuh yang sempurna. Tentu diet yang dianjurkan pun dengan menggunakan produk ini.
Diantara representasi perempuan yang paling kuat dan berpengaruh adalah bahwa kebudayaan barat barat mempromosikan ‘tubuh langsing’ sebagai norma kultural disipliner. [7] Kelangsingan adalah kondisi ideal terkini bagi daya tarik perempuan. WRP memperlihatkan bahwa diet merupakan life style, sehingga diet bukanlah suatu hal yang aneh untuk dijalani.
2. Vaseline
           

Kulit putih merupakan salah satu unsur yang ditonjolkan dalam konsep cantik yang diperlihatkan oleh media. Vaseline sebagai produk handbody memperlihatkan dalam iklannya, beberapa wanita yang sedang dalam kereta, lalu ada seorang wanita yang mencoba menutupi bagian lengannya karena kulitnya yang belang, wanita lain yang melihat hal tersebut menyodorkannnya handbody vaseline agar kulitnya menjadi putih merata. Dalam iklan tersebut terdapat kalimat “ Ada alasan 9 dari 10 wanita kini merasa kulitnya cerah seketika” hal ini menunjukkan bahwa Vaseline dapat membuat kulit putih secara cepat. Dalam iklan tersebut juga diperlihatkan dalam adegan dimana para wanita tersebut ketika turun dari kereta menampilkan ekspresi bahagia dan lebih percaya diri karena kulitnya yang menjadi lebih cerah. Hal ini memberi pesan kepada masyarakat khususnya para perempuan, bahwa kulit putih cerah merupakan warna kulit terbaik yang dapat membuat perempuan menjadi lebih cantik dan percaya diri.

Dari pemaparan diatas, dapat kita lihat bahwa iklan –iklan cenderung lebih menonjolkan dan mengasosiasikan gaya hidup dan penampilan perempuan yang diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan yang tidak hanya langsing namun juga indah. Iklan secara halus membuat standar-standar kecantikan dimulai dari klasifikasi bentuk tubuh, warna kulit, dan lainnya.  Selain itu, bentuk tubuh perempuan dikonstruksi oleh industri-industri yang terkait dengan tubuh dan kecantikan perempuan seperti industri kosmetik, makanan dan minuman, diet, dan sebagainya. Dimana hal ini menunjukkan bahwa kapitalis turut serta mengkonstruksi konsep cantik yang dibentuk dan mengambil keuntungan melalui produk-produknya.




Daftar Pustaka
Barker, Chris .2013.  Cultural Studies. Diterjemahkan oleh : Nurhadi. Bantul : Kreasi Wacana.
Hardy, Gail Maria. 1998. “Ketubuhan Perempuan dalam Interaksi Sosial: Suatu Masalah Perempuan dalam Heterogenitas Kelompoknya”, Dalam Seri Siasat Kebudayaan. Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis. Yogyakarta :  Kanisius.

Hidajadi, Miranti. “Tubuh : Sejarah Perkembangan dan Berbagai Masalahnya” dalam Jurnal Perempuan no 15.  Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan.

Permatasari, Pipit. 2008. Analisis Semiotika terhadap Citra Perempuan di Rubrik “Liputan Malam” Majalah Popular Edisi Januari- Maret 2008. Skripsi Sarjana pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (online) http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8591/1/PIPIT%20PERMATASARI-FDK.pdf, diakses pada tanggal  6 Juni 2015
Santi, sarah. 2004. Perempuan Dalam Iklan: Otonomi Atas Tubuh Atau Komoditi? (online) http://www.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/2012/12/esaunggul.ac_.id Perempuan_Dalam_Iklan_Otonomi_Atas_Tubuh_Atau_Komoditi__edit1.pdf , diakses pada tanggal 6 Juni 2015










[3] Faludi, Susan, “Backlash: The Undeclared War Against American Women”, dalam Sarah Santi, Perempuan Dalam Iklan: Otonomi Atas Tubuh Atau Komoditi? (online) http://www.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/2012/12/esaunggul.ac_.id Perempuan_Dalam_Iklan_Otonomi_Atas_Tubuh_Atau_Komoditi__edit1.pdf, diakses pada 6 Juni 2015
[4] Hardy, Gail Maria. 1998. “Ketubuhan Perempuan dalam Interaksi Sosial: Suatu Masalah Perempuan
dalam Heterogenitas Kelompoknya”, Dalam Seri Siasat Kebudayaan. Perempuan dan Politik
Tubuh Fantastis, Yogyakarta :  Kanisius. Hal : 119
[5] Chris Barker.2013.  Cultural Studies. Diterjemahkan oleh : Nurhadi. Bantul : Kreasi Wacana. Hal : 276
[6] Hidajadi, Miranti. “Tubuh : Sejarah Perkembangan dan Berbagai Masalahnya” dalam Jurnal Perempuan no 15.  Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. Hal : 10
[7] Chris Barker.2013.  Cultural Studies. Diterjemahkan oleh : Nurhadi. Bantul : Kreasi Wacana. Hal : 268

You May Also Like

0 comments