SLUMS AREA : Wajah Ibukota yang Tersembunyi (Studi Kasus Kelurahan Pejagalan Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)
Abstrak
Pembangunan kota yang
begitu pesat membuat daya tarik para pendatang yang berasal dari desa berbondong-bondong
datang untuk mengadu nasib di kota yang menyebabkan terjadinya kepadatan kota.
Kepadatan kota menyebabkan tingginya permintaan lahan. Para pendatang yang
umumnya berasal dari kondisi sosial ekonomi yang rendah memilih menempati lingkungan
pemukiman yang sesuai dengan penghasilannya. Sehingga dipilihlah kawasan
seperti pinggir rel kereta api, bantaran sungai ataupun kawasan di bawah jalan
tol, hal inilah yang biasanya mengakibatkan tumbuhnya permukiman liar
(squatter) dan merosotnya kondisi hunian yang mereka tempati menjadi permukiman
kumuh (slum). Salah satu permukiman kumuh ibukota adalah Kelurahan Pejagalan,
Kecamatan Penjaringan yang berada di Jakarta Utara. Permukiman yang berada di
sepanjang pinggir sungai ini selain padat, tak beraturan juga selalu ada
kemungkinan banjir, dari meluapnya air sungai.
Lingkungan permukiman kumuh di perkotaan telah menimbulkan dampak pada
peningkatan frekuensi bencana di perkotaan, meningkatnya potensi kerawanan dan
konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat dan menurunnya kualitas
pelayanan prasarana dan sarana permukiman.
Pendahuluan
Urbanisasi dan
munculnya permukiman kumuh di perkotaan merupakan fenomena dunia, baik di negara
maju lebih-lebih di negara berkembang. Kota dengan segala fasilitasnya membuat
sebagian orang berbondong-bondong datang dengan menggantungkan harapan akan
kehidupan yang lebih baik. Perkembangan kota yang pesat menjadi daya tarik
urbanisasi yang pada akhirnya menyebabkan kepadatan penduduk. Kepadatan
penduduk Kota yang tidak terkendali yang tidak diiringi kesiapan Kota akan
menimbulkan masalah baru seperti kemacetan dan kesemrawutan kota, kemiskinan,
meningkatnya kriminalitas, munculnya pemukiman kumuh atau slums area.
Pembangunan yang
pesat namun tidak dibarengi dengan upaya peningkatan sumber daya manusia serta
lapangan pekerjaan menyebabkan kesenjangan yang cukup tinggi. Para pendatang
yang berbondong-bondong datang dari pedesaan (urbanites) karena kondisi sosial ekonominya yang rendah,
biasanya mengakibatkan tumbuhnya permukiman liar (squatter) dan merosotnya
kondisi hunian yang mereka tempati menjadi permukiman kumuh (slum). Meluasnya
lingkungan permukiman kumuh di perkotaan telah menimbulkan dampak pada
peningkatan frekuensi bencana kebakaran dan banjir di perkotaan, meningkatnya
potensi kerawanan dan konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat, menurunnya
kualitas pelayanan prasarana dan sarana perrmukiman.[1]
Permukiman
Kumuh (Slums Area) dan Karakteristiknya
Pemukiman memberi
makna tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan prilakunya di
dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitikberatkan pada manusia dan bukan
pada sesuatu yang bersifat fisik atau benda mati.[2] Kumuh adalah kesan atau
gambaran umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah dari masyarakat kelas
bawah (miskin) dilihat dari standar hidup masyarakat kelas atas (kaya). Istilah
pemukiman kumuh secara eksplisit maupun implisit menunjukkan pandangan yang
bias, karena kata “kumuh” berarti cemar, jorok, kotor (Budihardjo, 2011). Dalam
kamus sosiologi Slums diartikan sebagai daerah penduduk yang berstatus ekonomi
rendah dengan gedung-gedung yang tidak memenuhi syarat kesehatan. (Sukamto
Soerjono, 1985). Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman, menyatakan bahwa: “......untuk
mendukung terwujudnya lingkungan pemukiman yang memenuhi persyaratan keamanan,
kesehatan, kenyamanan dan keandalan bangunan, suatu lingkungan pemukiman yang
tidak sesuai tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi, kualitas bangunan
sangat rendah, prasarana lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat
membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagai lingkungan pemukiman
kumuh..”. Dapat disimpulkan pemukiman kumuh adalah lingkungan hunian atau
tempat tinggal/rumah beserta lingkungannya, yang berfungsi sebagai rumah
tinggal dan sebagai sarana pembinaan keluarga, tetapi tidak layak huni ditinjau
dari tingkat kepadatan penduduk, sarana dan prasarananya, fasilitas pendidikan,
kesehatan serta sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat.
Menurut Bank
Pembangunan Daerah DKI karakteristik permukiman kumuh diantaranya, lingkungan
permukiman berpenghuni padat ( melebihi 500 orang per Ha ), kondisi sosial
ekonomi penduduk yang rendah, jumlah rumah yang sangat padat dan ukurannya
dibawah standar, prasarana lingkungan hampir tidak ada atau tidak memenuhi
persyaratan teknis dan kesehatan dan dibangun diatas tanah negara atau tanah
milik orang lain diluar peraturan perundang-undangan yang berlaku.[3]
Pola spasial
permukiman kumuh di perkotaan secara umum dapat dibagi menjadi 3 golongan
(Tambunan, 1991: 26)
:Pada kota-kota metropolis, pola spasialnya adalah berlokasi di lingkar luar
yang mengelilingi CBD (Central Business District) dan sedikit di lingkar luar
CC (Civic Centre), pada kota-kota menengah umumnya berlokasi di daerah suburb
dan relatif sedikit di tengah kota, pada kota-kota mikropolis lokasinya
tersebar sepanjang jalan (linear).[4] Umumnya lokasi yang
cenderung digunakan sebagai permukiman kumuh umumnya lahan-lahan milik
pemerintah yang yang pengelolaan kawasannya tidak terdefinisikan dengan jelas,
seperti bantaran sungai, wilayah yang menjadi otoritas pengelolaan Pusat,
Provinsi atau Kabupaten, lahan sekitar jalur kereta api, yang merupakan
kewenangan pengelola PJKA (Perusahaan Jasa Kereta Api) dan Pemerintah Daerah
serta kawasan di bawah jalan tol, yang merupakan kewenangan Bina Marga,
operator/ pengelola jalan tol dan Pemerintah Deaerah.[5]
Pemukiman kumuh juga
menimbulkan masalah-masalah baru diantaranya adalah wajah perkotaan menjadi
memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir,
penyakit menular dan kebakaran sering melanda permukiman ini. Disisi lain bahwa
kehidupan penghuninya terus merosot baik kesehatannya, maupun sosial kehidupan
mereka yang terus terhimpit jauh dibawah garis kemiskinan. Ukuran bangunan yang
sangat sempit, tidak memenuhi standard untuk bangunan layak huni, rumah yang
berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan akan bahaya
kebakaran, jaringan listrik yang semrawut sehingga rawan akan konsleting,
sarana jalan yang sempit dan tidak memadai, tidak tersedianya jaringan
drainase, kurangnya suplai air bersih, fasilitas MCK yang tidak memadai, banyak
timbul berbagai penyakit dan pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya.[6]
Lingkup penanganan
lingkungan permukiman telah dijelaskan dalam UU No. 4/1992 Pasal 27. Penanganan
mencakup hal-hal berikut.[7]
Perbaikan dan Pemugaran. Secara konseptual, implementasi
prinsip perbaikan dan pemugaran meliputi, Revitalisasi, Rehabilitasi, Renovasi,
Rekonstruksi, dan Preservasi. Revitalisasi
adalah upaya
menghidupkan kembali suatu kawasan mati, yang pada masa silam pernah hidup,
atau mengendalikan dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi
yang dimiliki atau
pernah dimiliki atau
seharusnya dimiliki oleh sebuah kota. Rehabilitasi
merupakan upaya mengembalikan kondisi komponen fisik lingkungan permukiman yang
mengalami degradasi. Renovasi melakukan
perubahan sebagian atau beberapa bagian dari komponen pembentukan lingkungan
permukiman. Rekonstruksi merupakan
upaya mengembalikan suatu lingkungan permukiman sedekat mungkin dari asalnya
yang diketahui, dengan menggunakan komponen-komponen baru maupun lama. Preservasi merupakan
upaya mempertahankan suatu lingkungan permukiman dari penurunan kualitas atau
kerusakan. Penanganan ini bertujuan untuk memelihara komponen yang berfungsi
baik dan mencegah dari proses penyusutan dini (kerusakan), misalnya dengan menggunakan
instrumen: Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Ketentuan atau pengaturan tentang:
Koefesien Lantai Bangunan, Koefesien Dasar Bangunan, Garis Sempadan Bangunan,
Garis Sempadan Jalan, Garis Sempadan Sungai, dan lain sebagainya.
Peremajaan adalah upaya pembongkaran sebagian atau
keseluruhan lingkungan perumahan dan permukiman dan kemudian di tempat yang
sama dibangun prasarana dan sarana lingkungan perumahan dan permukiman baru
yang lebih layak dan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Tujuan utama
dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan nilai pemanfaatan lahan yang
optimal sesuai dengan potensi lahannya. Di samping itu, diharapkan mampu
memberikan nilai tambah secara ekonomis dan memberi vitalitas baru dari lahan
permukiman yang diremajakan. Pada umumnya, peremajaan ini memberikan
konsekuensi bentuk teknis penanganan seperti halnya: land consolidation, land
re-adjustment dan land sharing.
Pengelolaan dan Pemeliharaan Berkelanjutan. Pengelolaan dan pemeliharaan berkelanjutan adalah
upaya-upaya untuk mencegah, mengendalikan atau mengurangi dampak negatif yang
timbul, serta meningkatkan dampak positif yang timbul terhadap lingkungan
hunian
Pejagalan,
Penjaringan salah satu Slums Area Ibukota
Gambar 1.
Pemukiman Pejagalan tampak dari seberang jalan (dokumentasi pribadi)
Pemukiman penduduk
yang padat terlihat menghiasi sepanjang pinggiran sungai. Bentuknya yang tidak
rapih, padatnya rumah, serta lokasi yang berada di pinggir sungai membuat siapa
saja yang melihat langsung dapat menyimpulkan bahwa kawasan ini merupakan
permukiman kumuh atau slums area. Semakin
dekat diperhatikan kumpulan sampah menghiasi sungai menjadi pemandangan kurang
nyaman dilihat. Permukaan air sungai yang cukup tinggi dapat membuat banjir
kapan saja ketika hujan turun. Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan ini
berada di Jakarta Utara. Wilayah ini memang sudah dikenal sebagai permukiman
kumuh, hingga kawasan ini menjadi salah satu tempat dilaksankannya Penataan
Kampung Habitat pertama pada tahun 2014 lalu.[8] Namun nampaknya hal
tersebut belum terlaksanakan secara kontinue sehingga hasilnya belum maksimal.
Gambar 2.
Penampakan sampah yang menghiasi sungai
(dokumentasi pribadi)
Lokasi pemukiman yang
sangat dekat dengan sungai membuat masyarakat harus selalu waspada akan banjir.
Karena saat hari biasapun permukaan air sungai cukup tinggi, dihiasi dengan
banyak sampah. Berdasarkan penuturan Bu Siti (30 th, warga Pejagalan) masyarakat
sudah dilarang membuang sampah di sungai, namun tidak ada pengolahan sampah
khusus, hanya biasanya warga membuang sampah di lahan terbukayang merupakan
lahan bekas empang lalu dibakar biasa saja. Atau biasanya terdapat tukang
sampah yang keliling namun tidak semua sampah diangkutnya, hanya sampah-sampah
plastik yang diambil. Namun tampaknya masih saja ada warga yang membuang sampah
ke sungai, terlihat dengan pemandangan sampah yang menghiasi sungai.
“ Ga ada pengolahan sampah khusus, paling
warga disini buang di lahan terbuka,di tempat bekas empang gitu nanti dibakar
biasa aja, atau suka ada yang ngambil tukang sampah tapi suka dipilihin
sampahnya, kalo ke kali sih udah ga boleh, denger-dengernya nanti di denda kalo
buang sampah ke kali”, jelas Bu Siti.
Gambar 3.
Keadaan lingkungan permukiman warga (dokumentasi pribadi)
Kebanyakan masyarakat
merupakan pendatang. Seperti narasumber yang juga bukan asli dari Jakarta, ia
berasal dari Cikampek. Namun meskipun pendatang, mereka telah tinggal cukup
lama di daerah ini. Mengenai Keadaan sosial ekonomi, masyarakat Pajegalan sebagian
besar merupakan kalangan menengah kebawah. Layaknya masyarakat kota yang
bersifat heterogen, mata pencaharian masyarakat Pejagalan bermacam-macam.
Banyak masyarakat yang bekerja dalam sektor ekonomi informal, terlihat
gerobak-gerobak dagangan menghiasi di depan rumah, juga masyarakat yang membuka
warung kecil-kecilan di rumahnya. Banyak juga masyarakat yang bekerja di
proyek, pabrik, dll. Tingkat pendidikan masyarakat rata-rata rendah. Salah satu
narasumber mengaku bahwa pendidikan terakhirnya adalah SMA.
Salah satu
karakteristik dari pemukiman kumuh, adalah lingkungan permukiman berpenghuni
padat.. Bu Siti mengaku di rumahnya ada 4 keluarga yang tinggal bersama.
Sekitar 15 orang tinggal di rumah berlantai dua dengan luas sekitar 6x4 m2.
Rumah yang keadaannya lebih rendah dibandingkan jalan ini membuat sering
terkena banjir. Pada saat penulis mewawancarai narasumber, keadaan di dalam
rumah masih dalam keadaan tergenang air. “Semalem
hujan besar, jadi airnya belum surut”, ujar Bu Siti menjelaskan keadaan rumahnya.
Rumah warga masyarakat Pejagalan rata-rata sudah terbuat dari semen, kayu serta
triplek.
Gambar 4.
Penulis sedang mewawancarai narasumber (dokumentasi pribadi)
Penutup
Pembangunan yang
telah dilakukan selama ini ternyata tidak menjangkau seluruh lapisan dari
masyarakat. Tetapi pembangunan hanya dinikmati oleh beberapa orang saja.
Kondisi semacam ini sangat memprihatinkan bila tidak segera cepat di atasi.
Angka kelahiran dan urbanisasi merupakan dua faktor utama yang menyebabkan
pertambahan penduduk yang pesat di daerah perkotaan. Pertambahan penduduk yang
pesat ini mengakibatkan terjadinya sejumlah permasalahan di daerah perkotaan,
salah satu diantaranya adalah munculnya pemukiman kumuh atau daerah slum (slum
area) yaitu daerah yang sifatnya kumuh dan tidak beraturan yang terdapat di
daerah perkotaan.
Permukiman kumuh
perlu ditangani secara serius oleh pemerintah. Karena meluasnya lingkungan
permukiman kumuh di perkotaan telah menimbulkan dampak pada peningkatan
frekuensi bencana kebakaran dan banjir di perkotaan, meningkatnya potensi
kerawanan dan konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat,
menurunnya kualitas pelayanan prasarana dan sarana perrmukiman.
Upaya mengatasi
permukiman kumuh[9]
:
1.
Program
Perbaikan Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan lingkungan
dan sarana lingkungan yang ada.
2.
Program uji coba peremajaan lingkungan kumuh,
yang dilakukan dengan membongkar lingkungan kumuh dan perumahan kumuh yang ada
serta menggantinya dengan rumah susun yang memenuhi syarat.
Hal penting yang
perlu diusahakan pemerintah pemberdayaan sumber daya manusia seperti pemberi
pelatihan keterampilan terhadap masrakat. Sehingga dengan demikian ketimpangan
sosial bisa teratasi karena pembangunan yang merata akan menciptakan suatu
tatanan kota yang baru. Hal tesebut akan menciptakan lapangan pekerjaan yang
luas dan bisa meminimalkan jumlah pengangguran serta tidak akan membuat penumpukan
orang untuk mencari pekerjaan ke kota yang menyebabkan kawasan pemukiman kumuh
di perkotaan.
Daftar Pustaka
Budihardjo, Eko. 1992. Sejumlah Masalah Pemukiman Kota.
Bandung : Pen. Alumni
Soekamto Soerjono, 1985. Kamus
Sosiologi, Jakarta: Rajawali.
Tambunan,
Rio. Hunian Liar dan
Pemerintah : Antara Toleransi dan Represi. JIIS vol.1.
Jakarta:
PAU-IS-UI & PT Gramedia, 1991.
Hlm : 26
Online
Dharma,
Agus. Peremajaan Permukiman Kumuh di DKI
Jakarta. (online). http://repository.gunadarma.ac.id/605/1/PEREMAJAAN%20PERMUKIMAN%20KUMUH%20DI%20DKI%20JAKARTA_UG.pdf Diakses pada tanggal 4 januari 2016
Enindwiselnuary,
Aelredus. 2012. Penataan Kawasan Kumuh Kampung Pulo Kelurahan Kampung Melayu
Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur. (online). http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-317-BAB_I.pdf . Diakses pada tanggal 4 Januari 2016
Feriskha, Moh Hendy. Peningkatan
Pemukiman Kumuh Sebagai Dampak Pembangunan Di Perkotaan. (online) https://imadiklus.googlecode.com/files/21%20hendy.%20Peningkatan%20Pemukiman%20Kumuh%20Sebagai%20Dampak%20Pembangunan.pdf.
Diakses pada tanggal 4 Januari 2016
Kementrian Negara Perumahan Rakyat. Penanganan
Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK).
(online). http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/PerumahanRakyat/Panduan%20PLP2K-BK.pdf. Diakses pada
tanggal 5 Januari
Malau, Waston. 2013. Dampak urbanisasi terhadap Pemukiman Kumuh
(slum area) di Daerah Perkotaan. JUPIIS VOL 5 Nomor 2 Medan : Universitas
Negeri Medan (online). http://download.portalgaruda.org/article.php?article=154897&val=5594&title=DAMPAK%20URBANISASI%20TERHADAP%20PEMUKIMAN%20KUMUH.
Diakses pada tanggal 5 Januari 2016
PU-Net. 2014. Penataan Kampung Habitat Pertama. (online). http://www.pu.go.id/m/main/view/9743 Diakses pada tanggal
5 Januari 2015
[1] Kementrian
Negara Perumahan Rakyat. Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh
Berbasis Kawasan (PLP2K-BK). (online). http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/PerumahanRakyat/Panduan%20PLP2K-BK.pdf.
Diakses pada tanggal 5 Januari pukul 18.12
[2] Waston
Malau. 2013. Dampak urbanisasi terhadap
Pemukiman Kumuh (slum area) di Daerah Perkotaan. JUPIIS VOL 5 Nomor 2 Medan
: Universitas Negeri Medan (online). http://download.portalgaruda.org/article.php?article=154897&val=5594&title=DAMPAK%20URBANISASI%20TERHADAP%20PEMUKIMAN%20KUMUH.
Diakses pada tanggal 5 Januari 2016 pukul 01.45
[3] Agus,
Dharma. Peremajaan Permukiman Kumuh di
DKI Jakarta. (online). http://repository.gunadarma.ac.id/605/1/PEREMAJAAN%20PERMUKIMAN%20KUMUH%20DI%20DKI%20JAKARTA_UG.pdf
Diakses pada tanggal 4 januari 2016 pukul 22.01
[4]
Rio, Tambunan. Hunian Liar dan Pemerintah : Antara
Toleransi dan Represi. JIIS vol.1. Jakarta:
PAU-IS-UI
& PT Gramedia, 1991. Hlm : 26
[5] Aelredus
Enindwiselnuary. 2012. Penataan Kawasan Kumuh Kampung Pulo Kelurahan Kampung
Melayu Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur. (online). http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-317-BAB_I.pdf
. Diakses pada tanggal 4 Januari 2016 pukul 22.15
[6] Moh
Hendy Feriskha. Peningkatan Pemukiman Kumuh Sebagai Dampak Pembangunan Di
Perkotaan. (online) https://imadiklus.googlecode.com/files/21%20hendy.%20Peningkatan%20Pemukiman%20Kumuh%20Sebagai%20Dampak%20Pembangunan.pdf.
Diakses pada tanggal 4 Januari 2016 pukul 23.37
[7]
Kementrian Negara Perumahan Rakyat. Penanganan Lingkungan Perumahan dan
Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK). (online). http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/PerumahanRakyat/Panduan%20PLP2K-BK.pdf.
Diakses pada tanggal 5 Januari pukul 18.12
[8] PU-Net.
2014. Penataan Kampung Habitat Pertama.
(online). http://www.pu.go.id/m/main/view/9743
Diakses pada tanggal 5 Januari 2015 pukul 22.02
[9] Moh
Hendy Feriskha. Peningkatan Pemukiman Kumuh Sebagai Dampak Pembangunan Di
Perkotaan. (online) https://imadiklus.googlecode.com/files/21%20hendy.%20Peningkatan%20Pemukiman%20Kumuh%20Sebagai%20Dampak%20Pembangunan.pdf.
Diakses pada tanggal 4 Januari 2016 pukul 23.37
0 comments